Recent Posts

Monday, 7 July 2025

Pencawapresan Gibran adalah Kesalahan Kolektif





Desakan sejumlah tokoh purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden memicu polemik nasional. Tak lama kemudian, muncul tandingan berupa dukungan dari kelompok purnawirawan TNI lainnya yang dimotori oleh Wiranto dan Agum Gumelar.

Publik pun menyaksikan bagaimana perbedaan tajam dalam tubuh para mantan perwira negara kembali muncul ke permukaan. Namun, di balik dinamika ini, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: pencawapresan Gibran sendiri merupakan kesalahan kolektif dari banyak lembaga dan elite politik.

Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa Gibran bisa menjadi calon wakil presiden sejak awal?

Bukan Wajah Otentik Kaum Muda

Gibran kerap dijual sebagai simbol anak muda dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun, faktanya, pencalonannya tidak lahir dari proses yang organik. Ia bukan representasi dari gerakan atau aspirasi pemuda, melainkan produk dari intervensi politik tingkat tinggi. 

Peran pamannya, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi kunci pembuka jalan bagi Gibran melalui putusan kontroversial yang membuka celah hukum batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan yang kemudian menuai kritik luas dan dinilai mencederai marwah MK sebagai lembaga penjaga konstitusi.

Putusan itulah yang membuka jalan bagi Gibran—bukan karena dorongan gerakan anak muda, apalagi seleksi meritokrasi.

Gibran bukan simbol perjuangan anak muda. Ia tidak lahir secara alamiah dari ruang publik, tapi dari jalur istimewa yang penuh rekayasa hukum. Bahkan pencalonan Gibran sebagai Wali Kota Solo pun tidak lepas dari intervensi politik yang penuh karpet merah.

Anak muda yang sejati lahir dari ruang perjuangan, bukan dari rekayasa hukum dan dinasti kekuasaan. Oleh arena itu, klaim bahwa Gibran mewakili kaum muda adalah narasi semu yang bertujuan membungkus kepentingan politik lama dalam wajah baru.

Kesalahan Kolektif Para Elit dan Lembaga

Gibran bisa maju bukan hanya karena keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga karena persetujuan oleh KPU, Bawaslu, hingga partai politik yang seharusnya menjadi penjaga etika demokrasi. Bahkan sebagian masyarakat dan media ikut terlibat dalam membangun narasi normalisasi politik dinasti. 

Jika hari ini muncul gerakan menuntut pencopotannya, maka itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kesalahan kolektif elit yang sebelumnya membiarkannya melenggang ke panggung kekuasaan.

Dan di sini penting untuk menyebut nama-nama besar seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua capres ini tidak pernah menyatakan penolakan tegas terhadap pencalonan Gibran saat proses pendaftaran capres-cawapres di KPU berlangsung. Bahkan, sejumlah informasi menyebut bahwa Gibran sempat dijajaki untuk dipasangkan dengan mereka sebagai cawapres. Artinya, tidak hanya Prabowo yang menganggap Gibran sebagai opsi potensial.

PDIP pun pernah menyebut Gibran sebagai salah satu nama yang masuk radar bacawapres. Ketika arah politik berubah dan Gibran memilih bergabung ke kubu Prabowo, barulah muncul suara kecewa. Tidak ada satu pun partai besar yang sejak awal menggugat atau menolak proses hukum yang membuka jalan bagi Gibran tersebut.

Gugatan hukum baru muncul setelah Pilpres 2024 dimenangkan Prabowo-Gibran. Kritik terhadap keputusan MK dan dugaan cawe-cawe kekuasaan baru ramai setelah hasilnya tak menguntungkan. Ini menunjukkan banyak elit politik memilih diam saat peluang masih terbuka bagi mereka

Perbedaan pandangan purnawirawan TNI bukan hal baru. 

Sejarah mencatat munculnya Petisi 50 pada 1980-an yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer dan sipil sebagai bentuk kritik terhadap Presiden Soeharto. 

Kini, ketegangan serupa muncul kembali. Tapi yang jadi sasaran adalah wakil presiden terpilih, Gibran, yang bersama Prabowo belum setahun menjabat sebagai pimpinan eksekutif negara. Perbedaannya, legitimasi politik sudah didapat, tapi legitimasi moral masih dipertanyakan.

Namun, satu hal yang sama: suara purnawirawan TNI selalu mencerminkan kegelisahan atas arah bangsa. Dan dalam situasi sekarang, kegelisahan itu tidak bisa disederhanakan hanya sebagai "pro atau kontra" terhadap satu sosok, melainkan sebagai refleksi atas krisis legitimasi sistemik yang lebih dalam.

Polemik Gibran bukan sekadar drama politik elit. Ini adalah refleksi dari krisis sistemik: krisis kepemimpinan, krisis integritas lembaga, dan krisis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Kita sedang berhadapan dengan kondisi di mana hukum bisa ditekuk dan elit politik dari berbagai kubu bisa menerima itu selama mereka punya peluang menang. Dan ketika kalah, barulah sistem dipersoalkan. Ini bukan demokrasi, ini kompetisi penuh kepura-puraan.

Pencawapresan Gibran tidak lahir dari demokrasi sehat, tetapi dari rekayasa hukum dan kompromi politik. Kini, ketika sejumlah pihak mulai menyuarakan penolakan, termasuk dari kalangan yang dulu menjaga republik dengan senjata, kita harus merenung lebih dalam: ini bukan sekadar soal Gibran, tetapi soal arah bangsa yang sedang kehilangan pijakan etik dan akal sehat.

Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran krisis, maka langkah pertama adalah mengakui bahwa kita semua—baik elit maupun rakyat— pernah membiarkan penyimpangan terjadi. Selama kita tidak mau jujur tentang itu, polemik seperti ini hanya akan berulang dan terus berulang setiap lima tahun dalam bentuk yang berbeda.
----------------
5 Mei 2025

Tuesday, 24 July 2018

Indonesia | 'I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories

Kate Lamb in Jakarta

Monday, 23 Jul 2018


To pass them off as real, Alex would enliven his fake accounts with dashes of humanity. Mixed up among the stream of political posts, his avatars – mostly pretty young Indonesian women – would bemoan their broken hearts and post pictures of their breakfasts.

But these fake accounts were not for fun; Alex and his team were told it was "war".

"When you're at war you use anything available to attack the opponent," says Alex from a cafe in central Jakarta, "but sometimes I felt disgusted with myself."

For several months in 2017 Alex, whose name has been changed, alleges he was one of more than 20 people inside a secretive cyber army that pumped out messages from fake social media accounts to support then Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, known as "Ahok", as he fought for re-election.

"They told us you should have five Facebook accounts, five Twitter accounts and one Instagram," he told the Guardian. "And they told us to keep it secret. They said it was 'war time' and we had to guard the battleground and not tell anyone about where we worked."

The Jakarta election – which saw the incumbent Ahok, a Chinese Christian, compete against the former president's son Agus Yudhoyono, and the former education minister, Anies Baswedan – churned up ugly religious and racial divisions. It culminated in mass Islamic rallies and allegations that religion was being used for political gain. Demonstrators called for Ahok to be jailed on contentious blasphemy charges.

The rallies were heavily promoted by an opaque online movement known as the Muslim Cyber Army, or the MCA, which employed hundreds of fake and anonymous accounts to spread racist and hardline Islamic content designed to turn Muslim voters against Ahok.

Alex says his team was employed to counter the deluge of anti-Ahok sentiment, including hashtags that critiqued opposition candidates, or ridiculed their Islamic allies.

Alex's team, comprising Ahok supporters and university students lured by the lucrative pay of about $280 (£212) a month, was allegedly employed in a "luxury house" in Menteng, central Jakarta. They were each told to post 60 to 120 times a day on their fake Twitter accounts, and a few times each day on Facebook.


'Special forces'

In Indonesia – which ranks among the top five users of Twitter and Facebook globally – they are what are known as a "buzzer teams" – groups which amplify messages and creates a "buzz" on social networks. While not all buzzer teams use fake accounts, some do.

Alex says his team of 20 people, each with 11 social media accounts, would generate up to 2,400 posts on Twitter a day.

The operation is said to have been coordinated through a WhatsApp group called Pasukan Khusus, meaning "special forces" in Indonesian, which Alex estimates consisted of about 80 members. The team was fed content and daily hashtags to promote.

"They didn't want the accounts to be anonymous so they asked us to take photos for the profiles, so we took them from Google, or sometimes we used pictures from our friends, or photos from Facebook or WhatsApp groups," says Alex. "They also encouraged us to use accounts of beautiful women to draw attention to the material; many accounts were like that."

On Facebook they even made a few accounts using profile pictures of famous foreign actresses, who inexplicably appeared to be die-hard Ahok fans.

The cyber team was allegedly told it was "only safe" to post from the Menteng residence, where they operated from several rooms.

"The first room was for the positive content, where they spread positive content about Ahok. The second room was for negative content, spreading negative content and hate speech about the opposition," says Alex, who says he chose the positive room.

Many of the accounts had just a few hundred followers, but by getting their hashtags trending, often on a daily basis, they artificially increased their visibility on the platform. By manipulating Twitter they influenced real users and the Indonesian media, which often refers to trending hashtags as barometers of the national mood.

Pradipa Rasidi, who at the time worked for the youth wing of Transparency International in Indonesia, noticed the phenomenon when he was researching social media during the election.

"At first glance they appear normal but then they mostly only tweet about politics," he said.

Rasidi interviewed two different Ahok buzzers, who detailed using fake accounts in the same fashion as that described by Alex. Both declined to speak to the Guardian.

A social media strategist who worked one of Ahok's opponents campaigns said buzzing was a big industry.

"Some people with influential accounts get paid about 20m rupiah ($1,400/£1,069) just for one tweet. Or if you want to get a topic trending for a few hours, that costs between 1-4m rupiah," Andi, who only wanted to be identified by his first name, explained.

Based on its study of the buzzer industry in Indonesia, researchers from the Center for Innovation and Policy Research (CIPG) say all candidates in the 2017 Jakarta election used buzzer teams – and at least one of Ahok's opponents skilfully created "hundreds of bots" connected to supporting web portals.

The Baswedan campaign denied using fake accounts or bots. A Yudhoyono spokesman said they did not breach campaigning rules.


Slander, hatred and hoax

The authorities have made moves to crack down on fake news and the spread of hate speech online but buzzers, which operate in a grey area have largely slipped through the cracks.

Even the central government appears to employ such tactics. The Twitter account @IasMardiyah, for example, which Alex says was utilised by his pro-Ahok buzzer team, now posts a steady flow of government messages and propaganda for President Joko Widodo – mostly retweets about Indonesia's infrastructure and diplomatic successes, or the need to protect national unity.

Featuring an avatar of a young woman wearing a headscarf and sunglasses, the account tweets almost exclusively pro-government content with accompanying hashtags.

Recently the account has posted about Indonesia's election to the United Nations security council, fighting terrorism, boosting agricultural exports, a new airport in West Java, next month's Asian Games, but also on sensitive issues such as West Papua.

A presidential spokesperson was asked for comment by the Guardian, but did not respond.

A spokesperson from Twitter declined to specify how many fake Indonesian accounts it had identified or removed from its platform in the past year. The company said it had "developed new techniques and proprietary machine learning for identifying malicious automation".

Wednesday, 4 October 2017

Freeport Dapat Keringanan Pajak, Rizal Ramli: Giliran Rakyat Kecil Diuber-uber


Negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia semakin jauh dari kesepakatan yang diinginkan penerintah Indonesia. alot.

Selain menolak skema divestasi saham 51% yang ditawarkan pemerintah, Freeport menuntut perjanjian stabilitas investasi untuk keberlangsungan tambangnya, pasca status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Demi mengakomodasi keinginan Freeport, pemerintah menyiapkan payung hukum berupa rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait stabilitas investasi ini. Bahkan, pembahasan RPP tersebut melibatkan Freeport, di samping lintas kementerian, pada 22 September lalu.

"Tentang penerimaan negara, RPP disusun Bu Sri Mulyani (Menkeu), divestasi baik waktu dan nilai itu ditangani tim gabungan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN," kata Ignasius Jonan, Menteri ESDM, Senin, 2 Oktober 2017.

Thursday, 9 March 2017

Sangat Keji Strategi Jokowi Mempertahankan Kekuasaan

Setya Novanto dan Joko Widodo Foto: via Harian Terbit
SANGAT keji dan norak, Joko Widodo jalankan strategi mempertahankan kekuasaannya dengan mendukung dan menempatkan para koruptor (E-KTP dan lain-lain) memimpin sejumlah institusi negara, lalu menyanderanya agar tidak bersikap kritis kepada pemerintah.

Lebih dari dua tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi Presiden, kita dapat melihat pengingkaran terhadap janji-janji manis di saat kampanye, terutama janji atau sumpahnya untuk memberantas korupsi dan menegakan pemerintah yang bersih dari korupsi. Janji manis tinggal kenangan pahit, sumpah setia tinggal ampas.

Sebaliknya, Joko Widodo justru menikmati dan memanfaatkan keadaan robohnya institusi negara, serta hancurnya nilai-nilai dan runtuhnya moralitas para pejabat negara tersebut untuk melanggengkan kekuasaannya.

Friday, 28 October 2016

Jokowi Bakal Mikir Sejuta Kali kalau Diminta Kembalikan UUD 1945


Selasa, 25 Oktober 2016

RMOL. Pasca Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, pemerintah Indonesia selalu menjelma menjadi ‎kepanjangan tangan dari neokolonialisme global, termasuk kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Begitu kata putri proklamator Indonesia Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri, dalam sambutan acara bedah buku 'Revolusi Belum Selesai' karyanya yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum dan HMI Komisariat Hukum di Universitas Bung Karno, Jalan Kimia, Cikini, Jakarta Pusat‎, Selasa (25/10).

"Sadar atau tidak dari 2003 sampai sekarang. Jokowi juga itu jadi kepanjangan nekolim," sambungnya.

Hal itu, lanjut Rachma, bisa dibuktikan dengan keengganan Jokowi mengembalikan Undang Undang Dasar (UUD) kembali ke UUD 1945 yang asli.

"Pasti dia mikirnya sejuta kali. ‎karena dia antek," tegasnya.

Proyek Tol Trans Jawa Akan Menggunakan Dana Pensiun


JAKARTA - Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah berencana menggunakan dana pensiun untuk membiayai proyek jalan tol Trans Jawa. Hal ini demi mendorong pembiayaan infrastruktur tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sehingga ke depan, proyek infrastruktur tidak lagi menggunakan anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L). Pemerintah juga tidak akan lagi menginjeksikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan pelat merah.

"Kita akan fokus bagaimana mendorong infrastruktur pembiayaan non APBN. Jadi tidak lagi menggunakan belanja di K/L, tidak lagi menggunakan PMN," katanya ddi Gedung Bina Graha, Jakarta, Jumat (21/10/2016).

Pemerintah sendiri menargetkan tol Trans Jawa dapat terkoneksi dari Jakarta ke Surabaya pada 2018. Untuk mewujudkannya, BUMN yang mendapatkan tugas untuk membangun proyek tersebut tentu membutuhkan modal tambahan.

Masalahnya, kata mantan Wamenkeu ini, perusahaan pelat merah tersebut kekurangan ekuitas untuk menarik pinjaman di bank. Oleh karena itu, mau tidak mau, pemerintah harus mencari akal agar target yang telah ditetapkan tidak molor.

Thursday, 20 October 2016

KH. MA’RUF AMIN: ”MUI TIDAK MASUKI WILAYAH POLITIK, AHOK YANG MENCAMPURI WILAYAH MUI“

- Selasa, 18 Oktober 2016


PB, Jakarta – Rupanya persoalan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan jika video yang memuat pertemuan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan warga Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, membuat Ahok dan pendukungnya gusar dan merasa tertekan.

Dengan menggunakan sebuah ormas yang menamakan diri Aliansi Masyarakat DKI Cinta Damai yang mengklaim terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, budayawan, tokoh pemuda, pelajar dan pengacara mencoba mendesak MUI untuk mencabut SK yang memutuskan jika Ahok telah menista Al Quran dan menghina Ulama.

Bahkan salah satu ulama dari NU, Muhammad Ghozi Wahib Wahab Hasbullah mengklaim jika pilkada serentak 2017 nanti tidak ada perpecahan di tengah masyarakat.

Namun pihak MUI rupanya tidak mundur sama sekali, bahkan pernyataan dari Ustad Tengku Zulkarnain sangat tegas, jangankan untuk mencabut SK untuk merubah satu hurufpun tidak akan dilakukan.

“Koar2 di Negara Demokrasi Wajib Menghormati Pendapat Orang. Tapi MUI Didesak2 Utk Cabut Surat yg Menyerahkan Penista Qur’an Diproses Hukum.” Tulis Zulkarnain melalui akunnya @UstadTengku.

Bahkan Pimpinan MUI masa Khidmat 2015-2020, KH, Ma’ruf Amin mengingatkan kepada Ahok, “selama ini MUI sama sekali tidak pernah memasuki wilayah politik, namun Ahok yang mencampuri wilayah MUI”.

MUI memang dikenal sangat berhati-hati dalam persoalan politik, bahkan diamnya MUI beberapa waktu lalu, sebelum mengeluarkan SK tersebut, dianggap sudah menjadi bagian dari wilayah politik yang dikekang oleh pemerintah.

“Walaupun terkesan lamban, namun MUI sebenarnya sangat berhati-hati, dalam memutuskan perkara. Apalagi selama ini MUI dikenal sebagai salah satu lembaga yang dipercaya baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat, dan Ahok memang sudah memasuki wilayah milik MUI, soal akidah umat Islam,” ujar Darwis tokoh muda muslim asal Maluku Utara di Jakarta.

http://pembawaberita.com/2016/10/18/kh-maruf-amin-mui-tidak-masuki-wilayah-politik-ahok-yang-mencampuri-wilayah-mui.html

Gubernur Papua: Saya Tidak Pernah Memberikan Pernyataan Berkaitan dengan PILKADA DKI


- Selasa, 18 Oktober 2016

SIARAN PERS

Gubernur Papua: Saya Tidak Pernah Memberikan Pernyataan Berkaitan dengan PILKADA DKI

Jakarta, 18 Oktober 2016

Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe merasa perlu memberikan klarifikasi berkaitan dengan berita dan  meme  tentang pernyataannya yang dihubungkan dengan “panasnya” Pilkada DKI saat ini. “Saya perlu sampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya kepada masyarakat DKI dan masyarakat Papua bahwa saya sama sekali tidak pernah memberikan pernyataan berkaitan dengan Pilkada DKI, apalagi dihubung-hubungkan dengan keinginan agar Papua Merdeka jika Ahok tidak dijinkan jadi Gubernur”. Hal ini disampaikan oleh Gubernur Papua saat mendampingi Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam kunjungannya ke Provinsi Papua, 17 Okrober 2016.

Lukas Enembe menjadi tidak nyaman dengan semakin viral-nya berita tersebut yang dikhawatirkan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan yang sudah terbangun dengan baik dan kokoh di Tanah Papua, khususnya di Provinsi Papua. “sudah berkali-kali saya nyatakan bahwa NKRI harga mati bagi kami di Papua, jadi jangan ada yang mencoba merusak tatanan yang sudah kami bangun dengan baik di tanah ini. Kami tidak berpikir untuk merdeka, tapi saat ini kami hanya fokus pada bagaimana cara mensejahterakan rakyat yang hidup di atas tanah ini. ” tegas Enembe.

Gubernur melanjutkan bahwa kami bersama dengan rakyat Papua sangat senang dan gembira, Pemerintahan saat ini yang di pimpin oleh Bapak Jokowi sangat focus dalam membangun Papua. Sudah berkali-kali Pak Jokowi berkunjung ke Provinsi Papua dan ini menunjukkan bahwa beliau sangat ingin pembangunan Papua dapat berjalan dengan cepat, sambung Lukas Enembe.

“Saya tidak punya waktu untuk mengurusi soal Provinsi lain, apalagi soal DKI yang tentunya punya karakter permasalahan yang jauh berbeda dengan Papua. Saya hanya ingin focus bagaimana caranya membangun Papua menjadi lebih baik. Makanya  saya tidak akan berhenti  berjuang untuk melakukan perubahan terhadap Undang-undang No 21 tahun 2001, karena kunci menuju kesejahteraan rakyat papua adalah dengan melakukan perubahan Undang-undang tersebut”

GUBERNUR LUKAS ENEMBE