Recent Posts

Monday, 28 July 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak(Bagian 3: Mereka yang Berdiri di Depan)


Sejak rakyat berbaris, tidak ada yang mati mendadak lagi.

Tidak di sebelah. Tidak di seberang.
Tapi tetap saja… kematian belum berhenti.

Kini, yang mati adalah yang berdiri diam di belakang.
Yang ikut-ikutan.
Yang bersorak tanpa mengerti.
Yang setia tanpa tahu mengapa.

Dan mereka yang di depan tetap hidup—tapi rambut mereka mulai memutih lebih cepat.
Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena beban yang tidak pernah dijelaskan.


Lalu orang mulai sadar...

Yang selamat bukan yang paling dekat,
bukan yang paling pintar,
bukan yang paling setia,
tapi yang paling siap menanggung beban kebenaran.


Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan,
muncul seorang jurnalis tua, dipecat karena terlalu jujur.
Ia menulis di koran bawah tanah:

“Presiden ini bukan pembunuh, tapi dia cermin.
Siapa pun yang bercermin padanya,
akan melihat bayangan sendiri yang selama ini mereka sembunyikan.
Dan kadang, bayangan itu yang membunuh mereka sendiri.”


Lalu teori konspirasi bergeser...
Bukan lagi “siapa yang dia bunuh,”
tapi:
“Apa yang dia bangkitkan dalam diri orang lain?”


Dan rakyat mulai paham,
barisannya bukan sekadar formasi,
tapi ujian.
Apakah mereka berdiri karena tahu,
atau hanya agar tidak mati duluan?


Di hari ke-100 pemerintahannya,
presiden itu berdiri sendiri di alun-alun.
Tak ada pengawal.
Tak ada podium.
Hanya satu mikrofon.

Dan ia berkata:

“Negara ini tidak dibangun dari para penyintas.
Tapi dari mereka yang berani mati demi hidup yang benar.
Jika saya membuat kalian takut, maka jangan pilih saya.
Tapi jika saya membuat kalian jujur, maka biarkan saya memimpin…
meski hanya sebentar.”

Dan setelah kalimat itu...
TV mati serentak.
Sinyal hilang satu jam penuh.
Ketika siaran kembali, ia tak lagi ada di alun-alun.
Tapi semua layar menampilkan satu kalimat:

“Berdirilah, atau bersembunyilah selamanya.”



Saturday, 26 July 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 2: Cerita fiksi yang terlalu mirip kenyataan)


Setelah ia jadi presiden, tak ada ledakan besar. Tak ada pidato lantang.

Ia tetap seperti dulu. Senyumnya sama. Langkahnya tetap ringan.
Tapi satu hal tak berubah:

Kematian tetap terjadi.
Tak di pusat. Tapi di samping.
Tak di target. Tapi di sekitar target.

Seorang gubernur wafat setelah rapat koordinasi. Bukan yang duduk di seberang meja—melainkan yang duduk sebelah kiri.

Seorang taipan besar tersedak di restoran—bukan karena hidangan presiden, tapi karena tertawa mendengar candanya.

Seorang tokoh oposisi ditemukan tak sadarkan diri. Ia tinggal bersebelahan dengan tempat presiden singgah semalam.

Dan rakyat mulai resah... bukan karena takut padanya,
tapi takut jadi 'sebelah' dari siapa pun yang sedang dekat dengannya.


Mereka menyebutnya “Kutukan Simetri.”

Selalu simetris. Selalu tak langsung.
Seperti gelombang kejut dari pusat gempa yang tak menghancurkan episentrum, tapi memecah yang ada di pinggir.


Para ilmuwan politik menyebutnya “Efek Kolateral Sistemik.”

Para spiritualis menyebutnya “Bayangan Karmika.”

Rakyat biasa hanya menyebutnya:
"Pokoknya, jangan tinggal di sebelah."


Sampai suatu hari...

Ia bicara di depan layar TV.
Tak pidato. Tak kampanye.

Hanya sebuah kalimat:

“Kalau kalian masih takut jadi tetangga sebelah...
maka, berdirilah di hadapan saya.
Karena yang berdiri di depan, tak akan mati sia-sia.
Tapi yang bersembunyi di samping, akan dilupakan bersama rumor dan dosa masa lalu mereka.”

Dan sejak hari itu,
rakyat tak lagi saling menghindari...
mereka berbaris.
Bukan karena cinta. Tapi karena ingin tetap hidup.



Thursday, 24 July 2025

Puisi: Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 1: Cerita fiksi)


Orang-orang tak pernah takut kalau dia datang.

Orangnya tenang. Ramah. Tidak bersenjata. Bahkan sering senyum.

Tapi entah mengapa, setiap kali dia mampir ke rumah warga — siapapun itu — tetangganya yang meninggal; bukan orang yang dikunjunginya. Justru yang serumah aman-aman saja.

Yang tinggal di sebelah, yang mendadak jatuh, tersedak, stroke, atau sekadar tak bangun lagi.

Awalnya orang mengira kebetulan.
Lalu jadi gumaman.
Lalu mitos.
Lalu legenda.

"Kalau dia mampir ke rumah seseorang, pastikan kamu bukan tetangga sebelah."

Kalimat itu jadi lelucon gelap, disampaikan dengan gugup sambil melirik jendela.

Ada yang menyebut dia pembawa kutuk.

Ada pula yang lebih sinis: "jangan-jangan dia pembunuh bayaran paling licin — korbannya tak pernah yang ditarget, tapi yang di sampingnya."

Tapi tuduhan itu tak pernah terbukti. Tak ada sidik jari. Tak ada motif. Tak ada racun. Hanya kematian... yang selalu berulang.

Hingga akhirnya, dia benar-benar jadi presiden.

Orang-orang yang sebelumnya merasa aman — justru kini mulai menghitung rumah mereka... dari pagar rumah kekuasaan. Karena istana bukan tempat tinggal satu orang, tapi meminjam alamat satu bangsa, dengan garis tak kasat mata yang menjalar ke setiap kota.  Dan semua orang, tanpa kecuali, tinggal di sebelah seseorang -- entah siapa, entah kapan — pada malam itu, giliran bisa mengetuk tanpa suara, tak pernah memberi aba-aba.

_____________________

Monday, 21 July 2025

Meme AI, Norma dan Standar Ganda: Saat Pemerintah Tak Siap Menyambut Era AI


Penangkapan mahasiswa ITB baru-baru ini karena mengunggah gambar buatan AI (Artificial intelligence) yang menggambarkan dua orang pria (maaf) sedang berciuman telah menjadi sorotan warganet. 

Sebagian warganet menafsirkannya sebagai presiden dan mantan presiden. Saya yakin sebagian lagi warganet yang awam tidak tahu siapa kedua orang tersebut. Sebab memang begitu konsep AI. 

Tidak ada penggambaran objek wajah manusia yang dibuat sama persis dengan wajah aslinya di dunia nyata. Ini berbeda dengan objek foto yang disunting menggunakan perangkat lunak seperti Photoshop. Bahkan berbeda juga dengan gembar karikatur yang setiap orang tentu bisa menebaknya jika pernah melihat wajah aslinya. 

Bareskrim Polri telah menjerat mahasiswa tersebut dengan UU ITE.  Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan tafsir penghinaan dalam UU ITE tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, harus dimaknai secara sempit untuk menghindari penyalahgunaan. 

Ketika dikonfirmasi ke pihak istana, pejabat istana mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak pernah memerintahkan penangkapan mahasiswa tersebut. Maka sudah bisa ditebak siapa yang berkepentingan.

Lebih dari sekadar soal hukum, kasus ini mengungkap ketidaksiapan negara dalam menghadapi era AI, serta potensi standar ganda yang merusak legitimasi pemerintah sendiri.

Pihak yang mendukung penangkapan mungkin berdalih bahwa unggahan tersebut tidak sesuai norma agama dan budaya Indonesia. Namun, jika pelanggaran norma langsung dijatuhi pidana, maka Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara moralistik otoriter.

Norma sosial dan budaya seharusnya dijawab dengan dialog, edukasi, atau teguran proporsional—bukan jeruji besi. Dalam negara demokrasi, tidak semua yang dianggap "tidak pantas" bisa dipidana, apalagi jika menyangkut ekspresi, satire, atau bentuk kritik terhadap pejabat publik.

Pemerintah Gembar-gembor AI, Tapi Tak Siap dengan Risikonya

Pemerintah gencar mendorong masyarakat—khususnya pelajar dan mahasiswa—untuk menggunakan teknologi AI. Namun saat muncul konsekuensi yang tidak disukai, seperti karya satir atau gambar provokatif, responnya justru represif.

Inilah yang menunjukkan bahwa pemerintah belum siap secara etis maupun struktural menghadapi era AI.

Jika ingin mendorong AI, maka seyogyanya:
1. Perlu ada regulasi AI yang adil dan transparan, agar masyarakat tahu batasan dan pelanggaran bisa dinilai objektif.
2. Perlu ada sosialisasi etika digital secara nasional;
3. Tidak boleh menggunakan hukum sebagai alat sensor sepihak.

Pemerintah seharusnya merespons dengan bijak dan proporsional, misalnya melalui klarifikasi publik atau dialog, bukan kriminalisasi langsung.

Amerika Serikat, sebagai negara pelopor dalam pengembangan teknologi AI, telah menunjukkan bahwa teknologi tak selalu berarti represi terhadap ekspresi.

Di sana, hanya penyebaran konten 'deepfake' untuk penipuan dan disinformasi berbahaya atau ancaman kekerasan secara nyata yang akan berujung penangkapan. 

Contoh kongret disinformasi adalah 
Presiden Donald Trump telah mengumumkan perang padahal tidak.

Contoh ancaman kekerasan secara nyata adalah unggahan gambar Trump dengan senapan dibidikkan ke kepalanya disertai teks ancaman langsung.

Visualisasi tersebut bisa dikategorikan “true threat” dan berujung penangkapan karena menimbulkan rasa takut atau niat nyata untuk melukai.

AI Adalah Ruang Eksperimen, Bukan Hanya Etalase Publik

Di era teknologi generatif seperti saat ini, para pegiat online—terutama dari kalangan muda—memiliki kebebasan bereksperimen dengan AI dalam berbagai bentuk: dari visual, suara, hingga teks. 

Tidak semua hasil eksperimen itu diunggah ke ruang publik di dunia maya. Banyak yang hanya disimpan di galeri ponsel atau komputer pribadi, sebagai bagian dari uji coba atau karya seni digital. Itu berarti bukan tidak mungkin ada lebih banyak lagi beragam meme serupa yang tersimpan di galeri perangkat bahkan beredar di komunitas terbatas. Meme-meme yang dihasilkan oleh mesin AI. 

Jika negara mulai mengkriminalisasi konten berbasis AI hanya karena sifatnya kontroversial, maka ini akan memicu ketakutan dan menyuburkan sensor diri (self-censorship) yang berbahaya bagi perkembangan kreativitas, kebebasan berpikir dan keterbukaan.

Sebagai alat, AI tak memiliki moral. Justru manusialah yang harus dibekali etika digital, bukan diberi ancaman pidana. 

Negara seharusnya membangun kebijakan yang membedakan dengan tegas antara ruang privat, ruang publik, dan ruang ekspresi kreatif. Jika tidak, maka ekspresi yang seharusnya menjadi bagian dari perkembangan teknologi bisa berubah menjadi delik pidana, hanya karena tafsir sepihak dari norma atau kekuasaan.

Penipuan Online Masih Marak, Tapi Tak Pernah Ditangkap

Ironisnya, pelaku penipuan online yang nyata-nyata melanggar UU ITE—khususnya bagian transaksi elektronik—jarang ditindak tegas bahkan tidak ditangkap. Padahal korban penipuan online bisa kehilangan uang, data pribadi, bahkan kehormatan.

Bandingkan dengan kasus mahasiswa ini: tidak ada korban langsung, tidak ada kerugian materiil, tidak ada niat jahat untuk melukai, namun langsung dijadikan tersangka. Ini jelas menunjukkan penerapan hukum yang tidak adil dan pilih-pilih. 

UU ITE telah disalahgunakan untuk membungkam kritik, bukan untuk mencegah dan mengatasi kejahatan transaksi elektronik. 

Standar Ganda: Dari "Penghina Prabowo" ke Kursi Kabinet

Yang lebih ironis lagi, beberapa pejabat yang kini duduk di lingkaran kekuasaan justru dikenal sebagai penghina Prabowo di masa lalu, baik secara verbal maupun dalam bentuk unggahan media sosial. 

Nama-nama seperti Tukang Sayur (yang konon pemiliknya adalah Hasan Nasbi) dan Rudi Valinka (Rudi Susanto, Staf Khusus Menteri Komdigi) di Twitter (sekarang X) dan lainnya pernah membuat pernyataan kasar, menghina, bahkan merendahkan Prabowo Subianto secara terbuka. Namun hingga kini, mereka tidak pernah disentuh hukum, bahkan mendapat jabatan. 
Bahkan fufufafa - yang dipastikan tanpa ragu adalah Gibran Rakabuming Raka - di Kaskus lebih barbar lagi dalam postingan komentar sejak 2014 hingga 2023. Mulai dari menghina Prabowo Subianto dan keluarganya, menghina mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga orientasi seksual terhadap seorang selebritas. 

Bandingkan dengan seorang mahasiswa yang hanya mengunggah meme hasil AI tanpa maksud menyebarkan informasi palsu atau ancaman kekerasan—langsung dijerat pasal. 

Meme yang sebenarnya bagi sebagian masyarakat kebanyakan tidak tahu siapa sebenarnya kedua orang tersebut. Jika gambar tersebut diperlihatkan dan ditanyakan kepada orang-orang perkotaan hingga di kampung pelosok siapa kedua orang itu, saya yakin banyak yang menjawab tidak tahu. Sebab memang begitu visualisasi AI.

Preseden Buruk di Mata Dunia

Jika tren kriminalisasi ini berlanjut, Indonesia akan dicap sebagai negara yang mendukung teknologi, tapi represif terhadap kreativitas. Mendorong AI, tapi menindas pengguna AI. Menciptakan aturan, tapi menegakkannya secara diskriminatif.

Preseden buruk seperti ini bisa mencoreng reputasi Indonesia di mata internasional, terutama dalam isu demokrasi digital dan kebebasan berkreasi.

Demokrasi Butuh Etika, Bukan Ketakutan

Karya satire, betapapun kontroversialnya, adalah bagian dari dinamika masyarakat modern. AI hanyalah alat; manusialah yang perlu dibekali pemahaman. Maka, negara seharusnya hadir sebagai pembimbing dan pelindung, bukan sebagai algojo.

Sudah saatnya pemerintah menyusun regulasi AI yang berpijak pada etika dan akal sehat, bukan pada sensitivitas politik sesaat.

Kalau pemerintah belum siap dengan risiko teknologi AI, maka sebaiknya stop omong kosong tentang "revolusi AI" di sekolah-sekolah atau kampus yang justru menciptakan ketakutan dan membunuh kreativitas generasi muda.
------------------
Senin, 12 Mei 2025

Monday, 7 July 2025

Pencawapresan Gibran adalah Kesalahan Kolektif





Desakan sejumlah tokoh purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden memicu polemik nasional. Tak lama kemudian, muncul tandingan berupa dukungan dari kelompok purnawirawan TNI lainnya yang dimotori oleh Wiranto dan Agum Gumelar.

Publik pun menyaksikan bagaimana perbedaan tajam dalam tubuh para mantan perwira negara kembali muncul ke permukaan. Namun, di balik dinamika ini, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: pencawapresan Gibran sendiri merupakan kesalahan kolektif dari banyak lembaga dan elite politik.

Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa Gibran bisa menjadi calon wakil presiden sejak awal?

Bukan Wajah Otentik Kaum Muda

Gibran kerap dijual sebagai simbol anak muda dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun, faktanya, pencalonannya tidak lahir dari proses yang organik. Ia bukan representasi dari gerakan atau aspirasi pemuda, melainkan produk dari intervensi politik tingkat tinggi. 

Peran pamannya, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi kunci pembuka jalan bagi Gibran melalui putusan kontroversial yang membuka celah hukum batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan yang kemudian menuai kritik luas dan dinilai mencederai marwah MK sebagai lembaga penjaga konstitusi.

Putusan itulah yang membuka jalan bagi Gibran—bukan karena dorongan gerakan anak muda, apalagi seleksi meritokrasi.

Gibran bukan simbol perjuangan anak muda. Ia tidak lahir secara alamiah dari ruang publik, tapi dari jalur istimewa yang penuh rekayasa hukum. Bahkan pencalonan Gibran sebagai Wali Kota Solo pun tidak lepas dari intervensi politik yang penuh karpet merah.

Anak muda yang sejati lahir dari ruang perjuangan, bukan dari rekayasa hukum dan dinasti kekuasaan. Oleh arena itu, klaim bahwa Gibran mewakili kaum muda adalah narasi semu yang bertujuan membungkus kepentingan politik lama dalam wajah baru.

Kesalahan Kolektif Para Elit dan Lembaga

Gibran bisa maju bukan hanya karena keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga karena persetujuan oleh KPU, Bawaslu, hingga partai politik yang seharusnya menjadi penjaga etika demokrasi. Bahkan sebagian masyarakat dan media ikut terlibat dalam membangun narasi normalisasi politik dinasti. 

Jika hari ini muncul gerakan menuntut pencopotannya, maka itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kesalahan kolektif elit yang sebelumnya membiarkannya melenggang ke panggung kekuasaan.

Dan di sini penting untuk menyebut nama-nama besar seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua capres ini tidak pernah menyatakan penolakan tegas terhadap pencalonan Gibran saat proses pendaftaran capres-cawapres di KPU berlangsung. Bahkan, sejumlah informasi menyebut bahwa Gibran sempat dijajaki untuk dipasangkan dengan mereka sebagai cawapres. Artinya, tidak hanya Prabowo yang menganggap Gibran sebagai opsi potensial.

PDIP pun pernah menyebut Gibran sebagai salah satu nama yang masuk radar bacawapres. Ketika arah politik berubah dan Gibran memilih bergabung ke kubu Prabowo, barulah muncul suara kecewa. Tidak ada satu pun partai besar yang sejak awal menggugat atau menolak proses hukum yang membuka jalan bagi Gibran tersebut.

Gugatan hukum baru muncul setelah Pilpres 2024 dimenangkan Prabowo-Gibran. Kritik terhadap keputusan MK dan dugaan cawe-cawe kekuasaan baru ramai setelah hasilnya tak menguntungkan. Ini menunjukkan banyak elit politik memilih diam saat peluang masih terbuka bagi mereka

Perbedaan pandangan purnawirawan TNI bukan hal baru. 

Sejarah mencatat munculnya Petisi 50 pada 1980-an yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer dan sipil sebagai bentuk kritik terhadap Presiden Soeharto. 

Kini, ketegangan serupa muncul kembali. Tapi yang jadi sasaran adalah wakil presiden terpilih, Gibran, yang bersama Prabowo belum setahun menjabat sebagai pimpinan eksekutif negara. Perbedaannya, legitimasi politik sudah didapat, tapi legitimasi moral masih dipertanyakan.

Namun, satu hal yang sama: suara purnawirawan TNI selalu mencerminkan kegelisahan atas arah bangsa. Dan dalam situasi sekarang, kegelisahan itu tidak bisa disederhanakan hanya sebagai "pro atau kontra" terhadap satu sosok, melainkan sebagai refleksi atas krisis legitimasi sistemik yang lebih dalam.

Polemik Gibran bukan sekadar drama politik elit. Ini adalah refleksi dari krisis sistemik: krisis kepemimpinan, krisis integritas lembaga, dan krisis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Kita sedang berhadapan dengan kondisi di mana hukum bisa ditekuk dan elit politik dari berbagai kubu bisa menerima itu selama mereka punya peluang menang. Dan ketika kalah, barulah sistem dipersoalkan. Ini bukan demokrasi, ini kompetisi penuh kepura-puraan.

Pencawapresan Gibran tidak lahir dari demokrasi sehat, tetapi dari rekayasa hukum dan kompromi politik. Kini, ketika sejumlah pihak mulai menyuarakan penolakan, termasuk dari kalangan yang dulu menjaga republik dengan senjata, kita harus merenung lebih dalam: ini bukan sekadar soal Gibran, tetapi soal arah bangsa yang sedang kehilangan pijakan etik dan akal sehat.

Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran krisis, maka langkah pertama adalah mengakui bahwa kita semua—baik elit maupun rakyat— pernah membiarkan penyimpangan terjadi. Selama kita tidak mau jujur tentang itu, polemik seperti ini hanya akan berulang dan terus berulang setiap lima tahun dalam bentuk yang berbeda.
----------------
5 Mei 2025