Desakan sejumlah tokoh purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden memicu polemik nasional. Tak lama kemudian, muncul tandingan berupa dukungan dari kelompok purnawirawan TNI lainnya yang dimotori oleh Wiranto dan Agum Gumelar.
Publik pun menyaksikan bagaimana perbedaan tajam dalam tubuh para mantan perwira negara kembali muncul ke permukaan. Namun, di balik dinamika ini, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: pencawapresan Gibran sendiri merupakan kesalahan kolektif dari banyak lembaga dan elite politik.
Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa Gibran bisa menjadi calon wakil presiden sejak awal?
Bukan Wajah Otentik Kaum Muda
Gibran kerap dijual sebagai simbol anak muda dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun, faktanya, pencalonannya tidak lahir dari proses yang organik. Ia bukan representasi dari gerakan atau aspirasi pemuda, melainkan produk dari intervensi politik tingkat tinggi.
Peran pamannya, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi kunci pembuka jalan bagi Gibran melalui putusan kontroversial yang membuka celah hukum batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan yang kemudian menuai kritik luas dan dinilai mencederai marwah MK sebagai lembaga penjaga konstitusi.
Putusan itulah yang membuka jalan bagi Gibran—bukan karena dorongan gerakan anak muda, apalagi seleksi meritokrasi.
Gibran bukan simbol perjuangan anak muda. Ia tidak lahir secara alamiah dari ruang publik, tapi dari jalur istimewa yang penuh rekayasa hukum. Bahkan pencalonan Gibran sebagai Wali Kota Solo pun tidak lepas dari intervensi politik yang penuh karpet merah.
Anak muda yang sejati lahir dari ruang perjuangan, bukan dari rekayasa hukum dan dinasti kekuasaan. Oleh arena itu, klaim bahwa Gibran mewakili kaum muda adalah narasi semu yang bertujuan membungkus kepentingan politik lama dalam wajah baru.
Kesalahan Kolektif Para Elit dan Lembaga
Gibran bisa maju bukan hanya karena keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga karena persetujuan oleh KPU, Bawaslu, hingga partai politik yang seharusnya menjadi penjaga etika demokrasi. Bahkan sebagian masyarakat dan media ikut terlibat dalam membangun narasi normalisasi politik dinasti.
Jika hari ini muncul gerakan menuntut pencopotannya, maka itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kesalahan kolektif elit yang sebelumnya membiarkannya melenggang ke panggung kekuasaan.
Dan di sini penting untuk menyebut nama-nama besar seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua capres ini tidak pernah menyatakan penolakan tegas terhadap pencalonan Gibran saat proses pendaftaran capres-cawapres di KPU berlangsung. Bahkan, sejumlah informasi menyebut bahwa Gibran sempat dijajaki untuk dipasangkan dengan mereka sebagai cawapres. Artinya, tidak hanya Prabowo yang menganggap Gibran sebagai opsi potensial.
PDIP pun pernah menyebut Gibran sebagai salah satu nama yang masuk radar bacawapres. Ketika arah politik berubah dan Gibran memilih bergabung ke kubu Prabowo, barulah muncul suara kecewa. Tidak ada satu pun partai besar yang sejak awal menggugat atau menolak proses hukum yang membuka jalan bagi Gibran tersebut.
Gugatan hukum baru muncul setelah Pilpres 2024 dimenangkan Prabowo-Gibran. Kritik terhadap keputusan MK dan dugaan cawe-cawe kekuasaan baru ramai setelah hasilnya tak menguntungkan. Ini menunjukkan banyak elit politik memilih diam saat peluang masih terbuka bagi mereka
Perbedaan pandangan purnawirawan TNI bukan hal baru.
Sejarah mencatat munculnya Petisi 50 pada 1980-an yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer dan sipil sebagai bentuk kritik terhadap Presiden Soeharto.
Kini, ketegangan serupa muncul kembali. Tapi yang jadi sasaran adalah wakil presiden terpilih, Gibran, yang bersama Prabowo belum setahun menjabat sebagai pimpinan eksekutif negara. Perbedaannya, legitimasi politik sudah didapat, tapi legitimasi moral masih dipertanyakan.
Namun, satu hal yang sama: suara purnawirawan TNI selalu mencerminkan kegelisahan atas arah bangsa. Dan dalam situasi sekarang, kegelisahan itu tidak bisa disederhanakan hanya sebagai "pro atau kontra" terhadap satu sosok, melainkan sebagai refleksi atas krisis legitimasi sistemik yang lebih dalam.
Polemik Gibran bukan sekadar drama politik elit. Ini adalah refleksi dari krisis sistemik: krisis kepemimpinan, krisis integritas lembaga, dan krisis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Kita sedang berhadapan dengan kondisi di mana hukum bisa ditekuk dan elit politik dari berbagai kubu bisa menerima itu selama mereka punya peluang menang. Dan ketika kalah, barulah sistem dipersoalkan. Ini bukan demokrasi, ini kompetisi penuh kepura-puraan.
Pencawapresan Gibran tidak lahir dari demokrasi sehat, tetapi dari rekayasa hukum dan kompromi politik. Kini, ketika sejumlah pihak mulai menyuarakan penolakan, termasuk dari kalangan yang dulu menjaga republik dengan senjata, kita harus merenung lebih dalam: ini bukan sekadar soal Gibran, tetapi soal arah bangsa yang sedang kehilangan pijakan etik dan akal sehat.
Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran krisis, maka langkah pertama adalah mengakui bahwa kita semua—baik elit maupun rakyat— pernah membiarkan penyimpangan terjadi. Selama kita tidak mau jujur tentang itu, polemik seperti ini hanya akan berulang dan terus berulang setiap lima tahun dalam bentuk yang berbeda.
----------------
5 Mei 2025