Recent Posts
Monday, 4 August 2025
Pilkada Pura-Pura Demokrasi
Monday, 28 July 2025
Tetangga Sebelah Mati Mendadak(Bagian 3: Mereka yang Berdiri di Depan)
Sejak rakyat berbaris, tidak ada yang mati mendadak lagi.
Tidak di sebelah. Tidak di seberang.
Tapi tetap saja… kematian belum berhenti.
Kini, yang mati adalah yang berdiri diam di belakang.
Yang ikut-ikutan.
Yang bersorak tanpa mengerti.
Yang setia tanpa tahu mengapa.
Dan mereka yang di depan tetap hidup—tapi rambut mereka mulai memutih lebih cepat.
Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena beban yang tidak pernah dijelaskan.
Lalu orang mulai sadar...
Yang selamat bukan yang paling dekat,
bukan yang paling pintar,
bukan yang paling setia,
tapi yang paling siap menanggung beban kebenaran.
Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan,
muncul seorang jurnalis tua, dipecat karena terlalu jujur.
Ia menulis di koran bawah tanah:
“Presiden ini bukan pembunuh, tapi dia cermin.
Siapa pun yang bercermin padanya,
akan melihat bayangan sendiri yang selama ini mereka sembunyikan.
Dan kadang, bayangan itu yang membunuh mereka sendiri.”
Lalu teori konspirasi bergeser...
Bukan lagi “siapa yang dia bunuh,”
tapi:
“Apa yang dia bangkitkan dalam diri orang lain?”
Dan rakyat mulai paham,
barisannya bukan sekadar formasi,
tapi ujian.
Apakah mereka berdiri karena tahu,
atau hanya agar tidak mati duluan?
Di hari ke-100 pemerintahannya,
presiden itu berdiri sendiri di alun-alun.
Tak ada pengawal.
Tak ada podium.
Hanya satu mikrofon.
Dan ia berkata:
“Negara ini tidak dibangun dari para penyintas.
Tapi dari mereka yang berani mati demi hidup yang benar.
Jika saya membuat kalian takut, maka jangan pilih saya.
Tapi jika saya membuat kalian jujur, maka biarkan saya memimpin…
meski hanya sebentar.”
Dan setelah kalimat itu...
TV mati serentak.
Sinyal hilang satu jam penuh.
Ketika siaran kembali, ia tak lagi ada di alun-alun.
Tapi semua layar menampilkan satu kalimat:
“Berdirilah, atau bersembunyilah selamanya.”
Saturday, 26 July 2025
Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 2: Cerita fiksi yang terlalu mirip kenyataan)
Setelah ia jadi presiden, tak ada ledakan besar. Tak ada pidato lantang.
Ia tetap seperti dulu. Senyumnya sama. Langkahnya tetap ringan.
Tapi satu hal tak berubah:
Kematian tetap terjadi.
Tak di pusat. Tapi di samping.
Tak di target. Tapi di sekitar target.
Seorang gubernur wafat setelah rapat koordinasi. Bukan yang duduk di seberang meja—melainkan yang duduk sebelah kiri.
Seorang taipan besar tersedak di restoran—bukan karena hidangan presiden, tapi karena tertawa mendengar candanya.
Seorang tokoh oposisi ditemukan tak sadarkan diri. Ia tinggal bersebelahan dengan tempat presiden singgah semalam.
Dan rakyat mulai resah... bukan karena takut padanya,
tapi takut jadi 'sebelah' dari siapa pun yang sedang dekat dengannya.
Mereka menyebutnya “Kutukan Simetri.”
Selalu simetris. Selalu tak langsung.
Seperti gelombang kejut dari pusat gempa yang tak menghancurkan episentrum, tapi memecah yang ada di pinggir.
Para ilmuwan politik menyebutnya “Efek Kolateral Sistemik.”
Para spiritualis menyebutnya “Bayangan Karmika.”
Rakyat biasa hanya menyebutnya:
"Pokoknya, jangan tinggal di sebelah."
Sampai suatu hari...
Ia bicara di depan layar TV.
Tak pidato. Tak kampanye.
Hanya sebuah kalimat:
“Kalau kalian masih takut jadi tetangga sebelah...
maka, berdirilah di hadapan saya.
Karena yang berdiri di depan, tak akan mati sia-sia.
Tapi yang bersembunyi di samping, akan dilupakan bersama rumor dan dosa masa lalu mereka.”
Dan sejak hari itu,
rakyat tak lagi saling menghindari...
mereka berbaris.
Bukan karena cinta. Tapi karena ingin tetap hidup.
Thursday, 24 July 2025
Puisi: Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 1: Cerita fiksi)
Orang-orang tak pernah takut kalau dia datang.
Orangnya tenang. Ramah. Tidak bersenjata. Bahkan sering senyum.
Tapi entah mengapa, setiap kali dia mampir ke rumah warga — siapapun itu — tetangganya yang meninggal; bukan orang yang dikunjunginya. Justru yang serumah aman-aman saja.
Yang tinggal di sebelah, yang mendadak jatuh, tersedak, stroke, atau sekadar tak bangun lagi.
Awalnya orang mengira kebetulan.
Lalu jadi gumaman.
Lalu mitos.
Lalu legenda.
"Kalau dia mampir ke rumah seseorang, pastikan kamu bukan tetangga sebelah."
Kalimat itu jadi lelucon gelap, disampaikan dengan gugup sambil melirik jendela.
Ada yang menyebut dia pembawa kutuk.
Ada pula yang lebih sinis: "jangan-jangan dia pembunuh bayaran paling licin — korbannya tak pernah yang ditarget, tapi yang di sampingnya."
Tapi tuduhan itu tak pernah terbukti. Tak ada sidik jari. Tak ada motif. Tak ada racun. Hanya kematian... yang selalu berulang.
Hingga akhirnya, dia benar-benar jadi presiden.
Orang-orang yang sebelumnya merasa aman — justru kini mulai menghitung rumah mereka... dari pagar rumah kekuasaan. Karena istana bukan tempat tinggal satu orang, tapi meminjam alamat satu bangsa, dengan garis tak kasat mata yang menjalar ke setiap kota. Dan semua orang, tanpa kecuali, tinggal di sebelah seseorang -- entah siapa, entah kapan — pada malam itu, giliran bisa mengetuk tanpa suara, tak pernah memberi aba-aba.
_____________________