Penangkapan mahasiswa ITB baru-baru ini karena mengunggah gambar buatan AI (Artificial intelligence) yang menggambarkan dua orang pria (maaf) sedang berciuman telah menjadi sorotan warganet.
Sebagian warganet menafsirkannya sebagai presiden dan mantan presiden. Saya yakin sebagian lagi warganet yang awam tidak tahu siapa kedua orang tersebut. Sebab memang begitu konsep AI.
Tidak ada penggambaran objek wajah manusia yang dibuat sama persis dengan wajah aslinya di dunia nyata. Ini berbeda dengan objek foto yang disunting menggunakan perangkat lunak seperti Photoshop. Bahkan berbeda juga dengan gembar karikatur yang setiap orang tentu bisa menebaknya jika pernah melihat wajah aslinya.
Bareskrim Polri telah menjerat mahasiswa tersebut dengan UU ITE. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan tafsir penghinaan dalam UU ITE tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, harus dimaknai secara sempit untuk menghindari penyalahgunaan.
Ketika dikonfirmasi ke pihak istana, pejabat istana mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak pernah memerintahkan penangkapan mahasiswa tersebut. Maka sudah bisa ditebak siapa yang berkepentingan.
Lebih dari sekadar soal hukum, kasus ini mengungkap ketidaksiapan negara dalam menghadapi era AI, serta potensi standar ganda yang merusak legitimasi pemerintah sendiri.
Pihak yang mendukung penangkapan mungkin berdalih bahwa unggahan tersebut tidak sesuai norma agama dan budaya Indonesia. Namun, jika pelanggaran norma langsung dijatuhi pidana, maka Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara moralistik otoriter.
Norma sosial dan budaya seharusnya dijawab dengan dialog, edukasi, atau teguran proporsional—bukan jeruji besi. Dalam negara demokrasi, tidak semua yang dianggap "tidak pantas" bisa dipidana, apalagi jika menyangkut ekspresi, satire, atau bentuk kritik terhadap pejabat publik.
Pemerintah Gembar-gembor AI, Tapi Tak Siap dengan Risikonya
Pemerintah gencar mendorong masyarakat—khususnya pelajar dan mahasiswa—untuk menggunakan teknologi AI. Namun saat muncul konsekuensi yang tidak disukai, seperti karya satir atau gambar provokatif, responnya justru represif.
Inilah yang menunjukkan bahwa pemerintah belum siap secara etis maupun struktural menghadapi era AI.
Jika ingin mendorong AI, maka seyogyanya:
1. Perlu ada regulasi AI yang adil dan transparan, agar masyarakat tahu batasan dan pelanggaran bisa dinilai objektif.
2. Perlu ada sosialisasi etika digital secara nasional;
3. Tidak boleh menggunakan hukum sebagai alat sensor sepihak.
Pemerintah seharusnya merespons dengan bijak dan proporsional, misalnya melalui klarifikasi publik atau dialog, bukan kriminalisasi langsung.
Amerika Serikat, sebagai negara pelopor dalam pengembangan teknologi AI, telah menunjukkan bahwa teknologi tak selalu berarti represi terhadap ekspresi.
Di sana, hanya penyebaran konten 'deepfake' untuk penipuan dan disinformasi berbahaya atau ancaman kekerasan secara nyata yang akan berujung penangkapan.
Contoh kongret disinformasi adalah
Presiden Donald Trump telah mengumumkan perang padahal tidak.
Contoh ancaman kekerasan secara nyata adalah unggahan gambar Trump dengan senapan dibidikkan ke kepalanya disertai teks ancaman langsung.
Visualisasi tersebut bisa dikategorikan “true threat” dan berujung penangkapan karena menimbulkan rasa takut atau niat nyata untuk melukai.
AI Adalah Ruang Eksperimen, Bukan Hanya Etalase Publik
Di era teknologi generatif seperti saat ini, para pegiat online—terutama dari kalangan muda—memiliki kebebasan bereksperimen dengan AI dalam berbagai bentuk: dari visual, suara, hingga teks.
Tidak semua hasil eksperimen itu diunggah ke ruang publik di dunia maya. Banyak yang hanya disimpan di galeri ponsel atau komputer pribadi, sebagai bagian dari uji coba atau karya seni digital. Itu berarti bukan tidak mungkin ada lebih banyak lagi beragam meme serupa yang tersimpan di galeri perangkat bahkan beredar di komunitas terbatas. Meme-meme yang dihasilkan oleh mesin AI.
Jika negara mulai mengkriminalisasi konten berbasis AI hanya karena sifatnya kontroversial, maka ini akan memicu ketakutan dan menyuburkan sensor diri (self-censorship) yang berbahaya bagi perkembangan kreativitas, kebebasan berpikir dan keterbukaan.
Sebagai alat, AI tak memiliki moral. Justru manusialah yang harus dibekali etika digital, bukan diberi ancaman pidana.
Negara seharusnya membangun kebijakan yang membedakan dengan tegas antara ruang privat, ruang publik, dan ruang ekspresi kreatif. Jika tidak, maka ekspresi yang seharusnya menjadi bagian dari perkembangan teknologi bisa berubah menjadi delik pidana, hanya karena tafsir sepihak dari norma atau kekuasaan.
Penipuan Online Masih Marak, Tapi Tak Pernah Ditangkap
Ironisnya, pelaku penipuan online yang nyata-nyata melanggar UU ITE—khususnya bagian transaksi elektronik—jarang ditindak tegas bahkan tidak ditangkap. Padahal korban penipuan online bisa kehilangan uang, data pribadi, bahkan kehormatan.
Bandingkan dengan kasus mahasiswa ini: tidak ada korban langsung, tidak ada kerugian materiil, tidak ada niat jahat untuk melukai, namun langsung dijadikan tersangka. Ini jelas menunjukkan penerapan hukum yang tidak adil dan pilih-pilih.
UU ITE telah disalahgunakan untuk membungkam kritik, bukan untuk mencegah dan mengatasi kejahatan transaksi elektronik.
Standar Ganda: Dari "Penghina Prabowo" ke Kursi Kabinet
Yang lebih ironis lagi, beberapa pejabat yang kini duduk di lingkaran kekuasaan justru dikenal sebagai penghina Prabowo di masa lalu, baik secara verbal maupun dalam bentuk unggahan media sosial.
Nama-nama seperti Tukang Sayur (yang konon pemiliknya adalah Hasan Nasbi) dan Rudi Valinka (Rudi Susanto, Staf Khusus Menteri Komdigi) di Twitter (sekarang X) dan lainnya pernah membuat pernyataan kasar, menghina, bahkan merendahkan Prabowo Subianto secara terbuka. Namun hingga kini, mereka tidak pernah disentuh hukum, bahkan mendapat jabatan.
Bahkan fufufafa - yang dipastikan tanpa ragu adalah Gibran Rakabuming Raka - di Kaskus lebih barbar lagi dalam postingan komentar sejak 2014 hingga 2023. Mulai dari menghina Prabowo Subianto dan keluarganya, menghina mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga orientasi seksual terhadap seorang selebritas.
Bandingkan dengan seorang mahasiswa yang hanya mengunggah meme hasil AI tanpa maksud menyebarkan informasi palsu atau ancaman kekerasan—langsung dijerat pasal.
Meme yang sebenarnya bagi sebagian masyarakat kebanyakan tidak tahu siapa sebenarnya kedua orang tersebut. Jika gambar tersebut diperlihatkan dan ditanyakan kepada orang-orang perkotaan hingga di kampung pelosok siapa kedua orang itu, saya yakin banyak yang menjawab tidak tahu. Sebab memang begitu visualisasi AI.
Preseden Buruk di Mata Dunia
Jika tren kriminalisasi ini berlanjut, Indonesia akan dicap sebagai negara yang mendukung teknologi, tapi represif terhadap kreativitas. Mendorong AI, tapi menindas pengguna AI. Menciptakan aturan, tapi menegakkannya secara diskriminatif.
Preseden buruk seperti ini bisa mencoreng reputasi Indonesia di mata internasional, terutama dalam isu demokrasi digital dan kebebasan berkreasi.
Demokrasi Butuh Etika, Bukan Ketakutan
Karya satire, betapapun kontroversialnya, adalah bagian dari dinamika masyarakat modern. AI hanyalah alat; manusialah yang perlu dibekali pemahaman. Maka, negara seharusnya hadir sebagai pembimbing dan pelindung, bukan sebagai algojo.
Sudah saatnya pemerintah menyusun regulasi AI yang berpijak pada etika dan akal sehat, bukan pada sensitivitas politik sesaat.
Kalau pemerintah belum siap dengan risiko teknologi AI, maka sebaiknya stop omong kosong tentang "revolusi AI" di sekolah-sekolah atau kampus yang justru menciptakan ketakutan dan membunuh kreativitas generasi muda.
------------------
Senin, 12 Mei 2025