Recent Posts

Monday, 28 July 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak(Bagian 3: Mereka yang Berdiri di Depan)


Sejak rakyat berbaris, tidak ada yang mati mendadak lagi.

Tidak di sebelah. Tidak di seberang.
Tapi tetap saja… kematian belum berhenti.

Kini, yang mati adalah yang berdiri diam di belakang.
Yang ikut-ikutan.
Yang bersorak tanpa mengerti.
Yang setia tanpa tahu mengapa.

Dan mereka yang di depan tetap hidup—tapi rambut mereka mulai memutih lebih cepat.
Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena beban yang tidak pernah dijelaskan.


Lalu orang mulai sadar...

Yang selamat bukan yang paling dekat,
bukan yang paling pintar,
bukan yang paling setia,
tapi yang paling siap menanggung beban kebenaran.


Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan,
muncul seorang jurnalis tua, dipecat karena terlalu jujur.
Ia menulis di koran bawah tanah:

“Presiden ini bukan pembunuh, tapi dia cermin.
Siapa pun yang bercermin padanya,
akan melihat bayangan sendiri yang selama ini mereka sembunyikan.
Dan kadang, bayangan itu yang membunuh mereka sendiri.”


Lalu teori konspirasi bergeser...
Bukan lagi “siapa yang dia bunuh,”
tapi:
“Apa yang dia bangkitkan dalam diri orang lain?”


Dan rakyat mulai paham,
barisannya bukan sekadar formasi,
tapi ujian.
Apakah mereka berdiri karena tahu,
atau hanya agar tidak mati duluan?


Di hari ke-100 pemerintahannya,
presiden itu berdiri sendiri di alun-alun.
Tak ada pengawal.
Tak ada podium.
Hanya satu mikrofon.

Dan ia berkata:

“Negara ini tidak dibangun dari para penyintas.
Tapi dari mereka yang berani mati demi hidup yang benar.
Jika saya membuat kalian takut, maka jangan pilih saya.
Tapi jika saya membuat kalian jujur, maka biarkan saya memimpin…
meski hanya sebentar.”

Dan setelah kalimat itu...
TV mati serentak.
Sinyal hilang satu jam penuh.
Ketika siaran kembali, ia tak lagi ada di alun-alun.
Tapi semua layar menampilkan satu kalimat:

“Berdirilah, atau bersembunyilah selamanya.”



Saturday, 26 July 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 2: Cerita fiksi yang terlalu mirip kenyataan)


Setelah ia jadi presiden, tak ada ledakan besar. Tak ada pidato lantang.

Ia tetap seperti dulu. Senyumnya sama. Langkahnya tetap ringan.
Tapi satu hal tak berubah:

Kematian tetap terjadi.
Tak di pusat. Tapi di samping.
Tak di target. Tapi di sekitar target.

Seorang gubernur wafat setelah rapat koordinasi. Bukan yang duduk di seberang meja—melainkan yang duduk sebelah kiri.

Seorang taipan besar tersedak di restoran—bukan karena hidangan presiden, tapi karena tertawa mendengar candanya.

Seorang tokoh oposisi ditemukan tak sadarkan diri. Ia tinggal bersebelahan dengan tempat presiden singgah semalam.

Dan rakyat mulai resah... bukan karena takut padanya,
tapi takut jadi 'sebelah' dari siapa pun yang sedang dekat dengannya.


Mereka menyebutnya “Kutukan Simetri.”

Selalu simetris. Selalu tak langsung.
Seperti gelombang kejut dari pusat gempa yang tak menghancurkan episentrum, tapi memecah yang ada di pinggir.


Para ilmuwan politik menyebutnya “Efek Kolateral Sistemik.”

Para spiritualis menyebutnya “Bayangan Karmika.”

Rakyat biasa hanya menyebutnya:
"Pokoknya, jangan tinggal di sebelah."


Sampai suatu hari...

Ia bicara di depan layar TV.
Tak pidato. Tak kampanye.

Hanya sebuah kalimat:

“Kalau kalian masih takut jadi tetangga sebelah...
maka, berdirilah di hadapan saya.
Karena yang berdiri di depan, tak akan mati sia-sia.
Tapi yang bersembunyi di samping, akan dilupakan bersama rumor dan dosa masa lalu mereka.”

Dan sejak hari itu,
rakyat tak lagi saling menghindari...
mereka berbaris.
Bukan karena cinta. Tapi karena ingin tetap hidup.



Thursday, 24 July 2025

Puisi: Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 1: Cerita fiksi)


Orang-orang tak pernah takut kalau dia datang.

Orangnya tenang. Ramah. Tidak bersenjata. Bahkan sering senyum.

Tapi entah mengapa, setiap kali dia mampir ke rumah warga — siapapun itu — tetangganya yang meninggal; bukan orang yang dikunjunginya. Justru yang serumah aman-aman saja.

Yang tinggal di sebelah, yang mendadak jatuh, tersedak, stroke, atau sekadar tak bangun lagi.

Awalnya orang mengira kebetulan.
Lalu jadi gumaman.
Lalu mitos.
Lalu legenda.

"Kalau dia mampir ke rumah seseorang, pastikan kamu bukan tetangga sebelah."

Kalimat itu jadi lelucon gelap, disampaikan dengan gugup sambil melirik jendela.

Ada yang menyebut dia pembawa kutuk.

Ada pula yang lebih sinis: "jangan-jangan dia pembunuh bayaran paling licin — korbannya tak pernah yang ditarget, tapi yang di sampingnya."

Tapi tuduhan itu tak pernah terbukti. Tak ada sidik jari. Tak ada motif. Tak ada racun. Hanya kematian... yang selalu berulang.

Hingga akhirnya, dia benar-benar jadi presiden.

Orang-orang yang sebelumnya merasa aman — justru kini mulai menghitung rumah mereka... dari pagar rumah kekuasaan. Karena istana bukan tempat tinggal satu orang, tapi meminjam alamat satu bangsa, dengan garis tak kasat mata yang menjalar ke setiap kota.  Dan semua orang, tanpa kecuali, tinggal di sebelah seseorang -- entah siapa, entah kapan — pada malam itu, giliran bisa mengetuk tanpa suara, tak pernah memberi aba-aba.

_____________________

Monday, 21 July 2025

Meme AI, Norma dan Standar Ganda: Saat Pemerintah Tak Siap Menyambut Era AI


Penangkapan mahasiswa ITB baru-baru ini karena mengunggah gambar buatan AI (Artificial intelligence) yang menggambarkan dua orang pria (maaf) sedang berciuman telah menjadi sorotan warganet. 

Sebagian warganet menafsirkannya sebagai presiden dan mantan presiden. Saya yakin sebagian lagi warganet yang awam tidak tahu siapa kedua orang tersebut. Sebab memang begitu konsep AI. 

Tidak ada penggambaran objek wajah manusia yang dibuat sama persis dengan wajah aslinya di dunia nyata. Ini berbeda dengan objek foto yang disunting menggunakan perangkat lunak seperti Photoshop. Bahkan berbeda juga dengan gembar karikatur yang setiap orang tentu bisa menebaknya jika pernah melihat wajah aslinya. 

Bareskrim Polri telah menjerat mahasiswa tersebut dengan UU ITE.  Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan tafsir penghinaan dalam UU ITE tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, harus dimaknai secara sempit untuk menghindari penyalahgunaan. 

Ketika dikonfirmasi ke pihak istana, pejabat istana mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak pernah memerintahkan penangkapan mahasiswa tersebut. Maka sudah bisa ditebak siapa yang berkepentingan.

Lebih dari sekadar soal hukum, kasus ini mengungkap ketidaksiapan negara dalam menghadapi era AI, serta potensi standar ganda yang merusak legitimasi pemerintah sendiri.

Pihak yang mendukung penangkapan mungkin berdalih bahwa unggahan tersebut tidak sesuai norma agama dan budaya Indonesia. Namun, jika pelanggaran norma langsung dijatuhi pidana, maka Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara moralistik otoriter.

Norma sosial dan budaya seharusnya dijawab dengan dialog, edukasi, atau teguran proporsional—bukan jeruji besi. Dalam negara demokrasi, tidak semua yang dianggap "tidak pantas" bisa dipidana, apalagi jika menyangkut ekspresi, satire, atau bentuk kritik terhadap pejabat publik.

Pemerintah Gembar-gembor AI, Tapi Tak Siap dengan Risikonya

Pemerintah gencar mendorong masyarakat—khususnya pelajar dan mahasiswa—untuk menggunakan teknologi AI. Namun saat muncul konsekuensi yang tidak disukai, seperti karya satir atau gambar provokatif, responnya justru represif.

Inilah yang menunjukkan bahwa pemerintah belum siap secara etis maupun struktural menghadapi era AI.

Jika ingin mendorong AI, maka seyogyanya:
1. Perlu ada regulasi AI yang adil dan transparan, agar masyarakat tahu batasan dan pelanggaran bisa dinilai objektif.
2. Perlu ada sosialisasi etika digital secara nasional;
3. Tidak boleh menggunakan hukum sebagai alat sensor sepihak.

Pemerintah seharusnya merespons dengan bijak dan proporsional, misalnya melalui klarifikasi publik atau dialog, bukan kriminalisasi langsung.

Amerika Serikat, sebagai negara pelopor dalam pengembangan teknologi AI, telah menunjukkan bahwa teknologi tak selalu berarti represi terhadap ekspresi.

Di sana, hanya penyebaran konten 'deepfake' untuk penipuan dan disinformasi berbahaya atau ancaman kekerasan secara nyata yang akan berujung penangkapan. 

Contoh kongret disinformasi adalah 
Presiden Donald Trump telah mengumumkan perang padahal tidak.

Contoh ancaman kekerasan secara nyata adalah unggahan gambar Trump dengan senapan dibidikkan ke kepalanya disertai teks ancaman langsung.

Visualisasi tersebut bisa dikategorikan “true threat” dan berujung penangkapan karena menimbulkan rasa takut atau niat nyata untuk melukai.

AI Adalah Ruang Eksperimen, Bukan Hanya Etalase Publik

Di era teknologi generatif seperti saat ini, para pegiat online—terutama dari kalangan muda—memiliki kebebasan bereksperimen dengan AI dalam berbagai bentuk: dari visual, suara, hingga teks. 

Tidak semua hasil eksperimen itu diunggah ke ruang publik di dunia maya. Banyak yang hanya disimpan di galeri ponsel atau komputer pribadi, sebagai bagian dari uji coba atau karya seni digital. Itu berarti bukan tidak mungkin ada lebih banyak lagi beragam meme serupa yang tersimpan di galeri perangkat bahkan beredar di komunitas terbatas. Meme-meme yang dihasilkan oleh mesin AI. 

Jika negara mulai mengkriminalisasi konten berbasis AI hanya karena sifatnya kontroversial, maka ini akan memicu ketakutan dan menyuburkan sensor diri (self-censorship) yang berbahaya bagi perkembangan kreativitas, kebebasan berpikir dan keterbukaan.

Sebagai alat, AI tak memiliki moral. Justru manusialah yang harus dibekali etika digital, bukan diberi ancaman pidana. 

Negara seharusnya membangun kebijakan yang membedakan dengan tegas antara ruang privat, ruang publik, dan ruang ekspresi kreatif. Jika tidak, maka ekspresi yang seharusnya menjadi bagian dari perkembangan teknologi bisa berubah menjadi delik pidana, hanya karena tafsir sepihak dari norma atau kekuasaan.

Penipuan Online Masih Marak, Tapi Tak Pernah Ditangkap

Ironisnya, pelaku penipuan online yang nyata-nyata melanggar UU ITE—khususnya bagian transaksi elektronik—jarang ditindak tegas bahkan tidak ditangkap. Padahal korban penipuan online bisa kehilangan uang, data pribadi, bahkan kehormatan.

Bandingkan dengan kasus mahasiswa ini: tidak ada korban langsung, tidak ada kerugian materiil, tidak ada niat jahat untuk melukai, namun langsung dijadikan tersangka. Ini jelas menunjukkan penerapan hukum yang tidak adil dan pilih-pilih. 

UU ITE telah disalahgunakan untuk membungkam kritik, bukan untuk mencegah dan mengatasi kejahatan transaksi elektronik. 

Standar Ganda: Dari "Penghina Prabowo" ke Kursi Kabinet

Yang lebih ironis lagi, beberapa pejabat yang kini duduk di lingkaran kekuasaan justru dikenal sebagai penghina Prabowo di masa lalu, baik secara verbal maupun dalam bentuk unggahan media sosial. 

Nama-nama seperti Tukang Sayur (yang konon pemiliknya adalah Hasan Nasbi) dan Rudi Valinka (Rudi Susanto, Staf Khusus Menteri Komdigi) di Twitter (sekarang X) dan lainnya pernah membuat pernyataan kasar, menghina, bahkan merendahkan Prabowo Subianto secara terbuka. Namun hingga kini, mereka tidak pernah disentuh hukum, bahkan mendapat jabatan. 
Bahkan fufufafa - yang dipastikan tanpa ragu adalah Gibran Rakabuming Raka - di Kaskus lebih barbar lagi dalam postingan komentar sejak 2014 hingga 2023. Mulai dari menghina Prabowo Subianto dan keluarganya, menghina mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga orientasi seksual terhadap seorang selebritas. 

Bandingkan dengan seorang mahasiswa yang hanya mengunggah meme hasil AI tanpa maksud menyebarkan informasi palsu atau ancaman kekerasan—langsung dijerat pasal. 

Meme yang sebenarnya bagi sebagian masyarakat kebanyakan tidak tahu siapa sebenarnya kedua orang tersebut. Jika gambar tersebut diperlihatkan dan ditanyakan kepada orang-orang perkotaan hingga di kampung pelosok siapa kedua orang itu, saya yakin banyak yang menjawab tidak tahu. Sebab memang begitu visualisasi AI.

Preseden Buruk di Mata Dunia

Jika tren kriminalisasi ini berlanjut, Indonesia akan dicap sebagai negara yang mendukung teknologi, tapi represif terhadap kreativitas. Mendorong AI, tapi menindas pengguna AI. Menciptakan aturan, tapi menegakkannya secara diskriminatif.

Preseden buruk seperti ini bisa mencoreng reputasi Indonesia di mata internasional, terutama dalam isu demokrasi digital dan kebebasan berkreasi.

Demokrasi Butuh Etika, Bukan Ketakutan

Karya satire, betapapun kontroversialnya, adalah bagian dari dinamika masyarakat modern. AI hanyalah alat; manusialah yang perlu dibekali pemahaman. Maka, negara seharusnya hadir sebagai pembimbing dan pelindung, bukan sebagai algojo.

Sudah saatnya pemerintah menyusun regulasi AI yang berpijak pada etika dan akal sehat, bukan pada sensitivitas politik sesaat.

Kalau pemerintah belum siap dengan risiko teknologi AI, maka sebaiknya stop omong kosong tentang "revolusi AI" di sekolah-sekolah atau kampus yang justru menciptakan ketakutan dan membunuh kreativitas generasi muda.
------------------
Senin, 12 Mei 2025

Monday, 7 July 2025

Pencawapresan Gibran adalah Kesalahan Kolektif





Desakan sejumlah tokoh purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden memicu polemik nasional. Tak lama kemudian, muncul tandingan berupa dukungan dari kelompok purnawirawan TNI lainnya yang dimotori oleh Wiranto dan Agum Gumelar.

Publik pun menyaksikan bagaimana perbedaan tajam dalam tubuh para mantan perwira negara kembali muncul ke permukaan. Namun, di balik dinamika ini, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: pencawapresan Gibran sendiri merupakan kesalahan kolektif dari banyak lembaga dan elite politik.

Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa Gibran bisa menjadi calon wakil presiden sejak awal?

Bukan Wajah Otentik Kaum Muda

Gibran kerap dijual sebagai simbol anak muda dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun, faktanya, pencalonannya tidak lahir dari proses yang organik. Ia bukan representasi dari gerakan atau aspirasi pemuda, melainkan produk dari intervensi politik tingkat tinggi. 

Peran pamannya, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi kunci pembuka jalan bagi Gibran melalui putusan kontroversial yang membuka celah hukum batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan yang kemudian menuai kritik luas dan dinilai mencederai marwah MK sebagai lembaga penjaga konstitusi.

Putusan itulah yang membuka jalan bagi Gibran—bukan karena dorongan gerakan anak muda, apalagi seleksi meritokrasi.

Gibran bukan simbol perjuangan anak muda. Ia tidak lahir secara alamiah dari ruang publik, tapi dari jalur istimewa yang penuh rekayasa hukum. Bahkan pencalonan Gibran sebagai Wali Kota Solo pun tidak lepas dari intervensi politik yang penuh karpet merah.

Anak muda yang sejati lahir dari ruang perjuangan, bukan dari rekayasa hukum dan dinasti kekuasaan. Oleh arena itu, klaim bahwa Gibran mewakili kaum muda adalah narasi semu yang bertujuan membungkus kepentingan politik lama dalam wajah baru.

Kesalahan Kolektif Para Elit dan Lembaga

Gibran bisa maju bukan hanya karena keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga karena persetujuan oleh KPU, Bawaslu, hingga partai politik yang seharusnya menjadi penjaga etika demokrasi. Bahkan sebagian masyarakat dan media ikut terlibat dalam membangun narasi normalisasi politik dinasti. 

Jika hari ini muncul gerakan menuntut pencopotannya, maka itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kesalahan kolektif elit yang sebelumnya membiarkannya melenggang ke panggung kekuasaan.

Dan di sini penting untuk menyebut nama-nama besar seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua capres ini tidak pernah menyatakan penolakan tegas terhadap pencalonan Gibran saat proses pendaftaran capres-cawapres di KPU berlangsung. Bahkan, sejumlah informasi menyebut bahwa Gibran sempat dijajaki untuk dipasangkan dengan mereka sebagai cawapres. Artinya, tidak hanya Prabowo yang menganggap Gibran sebagai opsi potensial.

PDIP pun pernah menyebut Gibran sebagai salah satu nama yang masuk radar bacawapres. Ketika arah politik berubah dan Gibran memilih bergabung ke kubu Prabowo, barulah muncul suara kecewa. Tidak ada satu pun partai besar yang sejak awal menggugat atau menolak proses hukum yang membuka jalan bagi Gibran tersebut.

Gugatan hukum baru muncul setelah Pilpres 2024 dimenangkan Prabowo-Gibran. Kritik terhadap keputusan MK dan dugaan cawe-cawe kekuasaan baru ramai setelah hasilnya tak menguntungkan. Ini menunjukkan banyak elit politik memilih diam saat peluang masih terbuka bagi mereka

Perbedaan pandangan purnawirawan TNI bukan hal baru. 

Sejarah mencatat munculnya Petisi 50 pada 1980-an yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer dan sipil sebagai bentuk kritik terhadap Presiden Soeharto. 

Kini, ketegangan serupa muncul kembali. Tapi yang jadi sasaran adalah wakil presiden terpilih, Gibran, yang bersama Prabowo belum setahun menjabat sebagai pimpinan eksekutif negara. Perbedaannya, legitimasi politik sudah didapat, tapi legitimasi moral masih dipertanyakan.

Namun, satu hal yang sama: suara purnawirawan TNI selalu mencerminkan kegelisahan atas arah bangsa. Dan dalam situasi sekarang, kegelisahan itu tidak bisa disederhanakan hanya sebagai "pro atau kontra" terhadap satu sosok, melainkan sebagai refleksi atas krisis legitimasi sistemik yang lebih dalam.

Polemik Gibran bukan sekadar drama politik elit. Ini adalah refleksi dari krisis sistemik: krisis kepemimpinan, krisis integritas lembaga, dan krisis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Kita sedang berhadapan dengan kondisi di mana hukum bisa ditekuk dan elit politik dari berbagai kubu bisa menerima itu selama mereka punya peluang menang. Dan ketika kalah, barulah sistem dipersoalkan. Ini bukan demokrasi, ini kompetisi penuh kepura-puraan.

Pencawapresan Gibran tidak lahir dari demokrasi sehat, tetapi dari rekayasa hukum dan kompromi politik. Kini, ketika sejumlah pihak mulai menyuarakan penolakan, termasuk dari kalangan yang dulu menjaga republik dengan senjata, kita harus merenung lebih dalam: ini bukan sekadar soal Gibran, tetapi soal arah bangsa yang sedang kehilangan pijakan etik dan akal sehat.

Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran krisis, maka langkah pertama adalah mengakui bahwa kita semua—baik elit maupun rakyat— pernah membiarkan penyimpangan terjadi. Selama kita tidak mau jujur tentang itu, polemik seperti ini hanya akan berulang dan terus berulang setiap lima tahun dalam bentuk yang berbeda.
----------------
5 Mei 2025

Tuesday, 24 July 2018

Indonesia | 'I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories

Kate Lamb in Jakarta

Monday, 23 Jul 2018


To pass them off as real, Alex would enliven his fake accounts with dashes of humanity. Mixed up among the stream of political posts, his avatars – mostly pretty young Indonesian women – would bemoan their broken hearts and post pictures of their breakfasts.

But these fake accounts were not for fun; Alex and his team were told it was "war".

"When you're at war you use anything available to attack the opponent," says Alex from a cafe in central Jakarta, "but sometimes I felt disgusted with myself."

For several months in 2017 Alex, whose name has been changed, alleges he was one of more than 20 people inside a secretive cyber army that pumped out messages from fake social media accounts to support then Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, known as "Ahok", as he fought for re-election.

"They told us you should have five Facebook accounts, five Twitter accounts and one Instagram," he told the Guardian. "And they told us to keep it secret. They said it was 'war time' and we had to guard the battleground and not tell anyone about where we worked."

The Jakarta election – which saw the incumbent Ahok, a Chinese Christian, compete against the former president's son Agus Yudhoyono, and the former education minister, Anies Baswedan – churned up ugly religious and racial divisions. It culminated in mass Islamic rallies and allegations that religion was being used for political gain. Demonstrators called for Ahok to be jailed on contentious blasphemy charges.

The rallies were heavily promoted by an opaque online movement known as the Muslim Cyber Army, or the MCA, which employed hundreds of fake and anonymous accounts to spread racist and hardline Islamic content designed to turn Muslim voters against Ahok.

Alex says his team was employed to counter the deluge of anti-Ahok sentiment, including hashtags that critiqued opposition candidates, or ridiculed their Islamic allies.

Alex's team, comprising Ahok supporters and university students lured by the lucrative pay of about $280 (£212) a month, was allegedly employed in a "luxury house" in Menteng, central Jakarta. They were each told to post 60 to 120 times a day on their fake Twitter accounts, and a few times each day on Facebook.


'Special forces'

In Indonesia – which ranks among the top five users of Twitter and Facebook globally – they are what are known as a "buzzer teams" – groups which amplify messages and creates a "buzz" on social networks. While not all buzzer teams use fake accounts, some do.

Alex says his team of 20 people, each with 11 social media accounts, would generate up to 2,400 posts on Twitter a day.

The operation is said to have been coordinated through a WhatsApp group called Pasukan Khusus, meaning "special forces" in Indonesian, which Alex estimates consisted of about 80 members. The team was fed content and daily hashtags to promote.

"They didn't want the accounts to be anonymous so they asked us to take photos for the profiles, so we took them from Google, or sometimes we used pictures from our friends, or photos from Facebook or WhatsApp groups," says Alex. "They also encouraged us to use accounts of beautiful women to draw attention to the material; many accounts were like that."

On Facebook they even made a few accounts using profile pictures of famous foreign actresses, who inexplicably appeared to be die-hard Ahok fans.

The cyber team was allegedly told it was "only safe" to post from the Menteng residence, where they operated from several rooms.

"The first room was for the positive content, where they spread positive content about Ahok. The second room was for negative content, spreading negative content and hate speech about the opposition," says Alex, who says he chose the positive room.

Many of the accounts had just a few hundred followers, but by getting their hashtags trending, often on a daily basis, they artificially increased their visibility on the platform. By manipulating Twitter they influenced real users and the Indonesian media, which often refers to trending hashtags as barometers of the national mood.

Pradipa Rasidi, who at the time worked for the youth wing of Transparency International in Indonesia, noticed the phenomenon when he was researching social media during the election.

"At first glance they appear normal but then they mostly only tweet about politics," he said.

Rasidi interviewed two different Ahok buzzers, who detailed using fake accounts in the same fashion as that described by Alex. Both declined to speak to the Guardian.

A social media strategist who worked one of Ahok's opponents campaigns said buzzing was a big industry.

"Some people with influential accounts get paid about 20m rupiah ($1,400/£1,069) just for one tweet. Or if you want to get a topic trending for a few hours, that costs between 1-4m rupiah," Andi, who only wanted to be identified by his first name, explained.

Based on its study of the buzzer industry in Indonesia, researchers from the Center for Innovation and Policy Research (CIPG) say all candidates in the 2017 Jakarta election used buzzer teams – and at least one of Ahok's opponents skilfully created "hundreds of bots" connected to supporting web portals.

The Baswedan campaign denied using fake accounts or bots. A Yudhoyono spokesman said they did not breach campaigning rules.


Slander, hatred and hoax

The authorities have made moves to crack down on fake news and the spread of hate speech online but buzzers, which operate in a grey area have largely slipped through the cracks.

Even the central government appears to employ such tactics. The Twitter account @IasMardiyah, for example, which Alex says was utilised by his pro-Ahok buzzer team, now posts a steady flow of government messages and propaganda for President Joko Widodo – mostly retweets about Indonesia's infrastructure and diplomatic successes, or the need to protect national unity.

Featuring an avatar of a young woman wearing a headscarf and sunglasses, the account tweets almost exclusively pro-government content with accompanying hashtags.

Recently the account has posted about Indonesia's election to the United Nations security council, fighting terrorism, boosting agricultural exports, a new airport in West Java, next month's Asian Games, but also on sensitive issues such as West Papua.

A presidential spokesperson was asked for comment by the Guardian, but did not respond.

A spokesperson from Twitter declined to specify how many fake Indonesian accounts it had identified or removed from its platform in the past year. The company said it had "developed new techniques and proprietary machine learning for identifying malicious automation".

Wednesday, 4 October 2017

Freeport Dapat Keringanan Pajak, Rizal Ramli: Giliran Rakyat Kecil Diuber-uber


Negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia semakin jauh dari kesepakatan yang diinginkan penerintah Indonesia. alot.

Selain menolak skema divestasi saham 51% yang ditawarkan pemerintah, Freeport menuntut perjanjian stabilitas investasi untuk keberlangsungan tambangnya, pasca status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Demi mengakomodasi keinginan Freeport, pemerintah menyiapkan payung hukum berupa rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait stabilitas investasi ini. Bahkan, pembahasan RPP tersebut melibatkan Freeport, di samping lintas kementerian, pada 22 September lalu.

"Tentang penerimaan negara, RPP disusun Bu Sri Mulyani (Menkeu), divestasi baik waktu dan nilai itu ditangani tim gabungan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN," kata Ignasius Jonan, Menteri ESDM, Senin, 2 Oktober 2017.

Thursday, 9 March 2017

Sangat Keji Strategi Jokowi Mempertahankan Kekuasaan

Setya Novanto dan Joko Widodo Foto: via Harian Terbit
SANGAT keji dan norak, Joko Widodo jalankan strategi mempertahankan kekuasaannya dengan mendukung dan menempatkan para koruptor (E-KTP dan lain-lain) memimpin sejumlah institusi negara, lalu menyanderanya agar tidak bersikap kritis kepada pemerintah.

Lebih dari dua tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi Presiden, kita dapat melihat pengingkaran terhadap janji-janji manis di saat kampanye, terutama janji atau sumpahnya untuk memberantas korupsi dan menegakan pemerintah yang bersih dari korupsi. Janji manis tinggal kenangan pahit, sumpah setia tinggal ampas.

Sebaliknya, Joko Widodo justru menikmati dan memanfaatkan keadaan robohnya institusi negara, serta hancurnya nilai-nilai dan runtuhnya moralitas para pejabat negara tersebut untuk melanggengkan kekuasaannya.